Merdeka Ala Kerupuk dan Karung Goni

Ada satu fenomena nasional yang cuma datang setahun sekali. Fenomena yang bikin tukang tambal ban mendadak jadi wasit, bikin ibu-ibu rela jemur karung bekas beras, dan bikin anak-anak ngantre panjang cuma buat dapat giliran makan kerupuk yang digantung. Namanya lomba 17 Agustus.

Anehnya, selalu saja ada manusia-manusia yang hobi bilang, “Lomba-lomba itu nggak ada gunanya. Nggak nyambung sama kemerdekaan. Cuma seremonial buang waktu.” Kadang ada juga yang sok puitis tapi sama saja nyinyir: “Lucu, ya… naskah proklamasi dulu dibacain, sekarang kita rayainnya dengan makan kerupuk sambil nyengir.”

Halo, kawan. Itu penantian sebelas bulan lebih, lho. Setahun sekali. Masa iya mau direcokin pakai teori kemerdekaan ala buku pelajaran yang nggak lucu sama sekali? Saya kasih tahu sedikit rahasianya.

Lomba makan kerupuk itu bukan sekadar pamer mulut besar. Itu simbol perjuangan. Simbol keterbatasan. Kerupuk yang diikat tinggi, tali yang goyang-goyang, mulut yang mangap-mangap, mirip bangsa ini waktu dulu berebut kemerdekaan: susah, nggak instan, tapi nggak boleh nyerah.

Perang bantal di atas empang? Itu alegori halus tentang mengusir penjajah. Siapa yang jatuh, ya wassalam. Siapa yang bertahan di atas, berkuasa atas tanah dan air.

Balap karung? Gampang kelihatannya. Padahal larinya cuma segitu-gitu aja. Persis seperti rakyat yang terbelenggu tapi tetap maksa maju walaupun nggak bisa melangkah bebas.

Masukin benang ke jarum sambil jalan? Latihan kesabaran. Latihan fokus. Latihan nggak ngomel walaupun teman di sebelah sudah teriak “ayo cepat” padahal tangannya sendiri gemeteran.

Ngambil koin di pepaya yang dilumuri oli? Itu tentang kerasnya perjuangan. Koinnya kecil, licin, bikin susah dipegang, tapi tetap diambil. Karena di dunia nyata, kemenangan kecil pun harus diperjuangkan.

Panjat pinang? Semua orang sudah tahu maknanya: gotong royong. Saling dorong, saling injak, saling tarik—bukan buat menjatuhkan, tapi buat naik bareng-bareng. Walaupun licinnya setengah mati, semua tetap berusaha.

Sekarang, coba pikir. Kegiatan apa lagi yang bisa nyentuh rakyat Indonesia tanpa tanya dulu kamu makan lauk apa di rumah, kerupuk atau rendang? Kegiatan apa lagi yang bisa bikin semua orang ketawa bareng tanpa peduli rambutnya lurus atau ubanan? Kegiatan apa lagi yang bisa nyampurin orang bermobil dan orang bersandal jepit di satu lapangan tanpa ada yang minder? Kegiatan apa lagi yang bisa bikin orang gereja dan orang masjid sama-sama teriak “ayo, ayo, ayo” ke peserta yang lagi merangkak di karung?

Ironinya, filosofi lomba ini justru lebih relevan dengan kondisi Indonesia hari ini. Bedanya, lomba rakyat dilakukan setahun sekali, sedangkan lomba para pejabat dilakukan setiap hari, sepanjang tahun.

Di lapangan upacara, rakyat berebut kerupuk. Di ruang sidang, pejabat berebut proyek. Di kampung, peserta lomba berdesak-desakan demi koin di pepaya. Di gedung pemerintahan, elite rebutan kursi empuk. Kerupuk rakyat habis dalam hitungan menit, tapi anggaran proyek mereka selalu tersedia.

Balap karung rakyat penuh tawa. Balap jabatan mereka penuh lobi. Rakyat merangkak di tanah berdebu demi hadiah sabun cuci. Mereka merangkak di lorong kekuasaan demi akses ke brankas negara.

Panjat pinang rakyat diwarnai gotong royong. Panjat kekuasaan mereka diwarnai gotong-royok. Rakyat memanjat untuk hadiah mie instan dan minyak goreng. Mereka memanjat untuk rumah dinas, mobil dinas, tunjangan tak terbatas.

Kita sering dengar istilah “pejabat adalah pelayan rakyat”. Nyatanya, banyak rakyat yang harus antre minta tanda tangan mereka layaknya menghadap raja. Pejabat yang katanya bekerja untuk kesejahteraan rakyat, malah tampak lebih sibuk mengurus kesejahteraan pribadi.

Rakyat masih banyak yang makan seadanya, bahkan mengatur strategi agar beras cukup sampai gajian. Sementara di ruang makan istana, piring-piring porselen menampung menu yang namanya sulit dieja. Rakyat susah beli minyak goreng, pejabat sibuk potong pita pabrik minyak yang mereka resmikan untuk konten.

Inilah sebabnya lomba 17-an penting. Setidaknya di sana, rakyat bisa tertawa lepas tanpa harus mikirin harga cabai atau tarif listrik. Di sana, rakyat bisa merasa “sama” walaupun hanya sehari. Sama-sama berebut hadiah sabun dan mie instan. Sama-sama berebut tawa yang nggak bisa dibeli di supermarket.

Sekarang, tunjukkan pada saya orang yang masih nyinyir dengan lomba rakyat ini. Yang bilang makan kerupuk itu melambangkan kemiskinan. Yang bilang balap karung itu potret kemelaratan. Yang nyuruh stop main di oli bekas. Kalau ketemu, jelasin baik-baik filosofi tiap lomba itu. Kalau mereka belum paham juga, bawa ke saya. Biar saya ajak balapan kelereng pakai sendok. Kalau kalah, gilirannya ganti makan kerupuk.

Biar mereka tahu, merdeka itu bukan cuma urusan upacara. Merdeka itu juga soal bisa ketawa bareng, walaupun isi dompet beda, walaupun pejabat makmur dan rakyat pas-pasan. Karena dalam lomba rakyat, yang penting bukan hadiahnya, tapi rasa sama-sama yang sudah mulai langka di negeri ini.

Penulis: Ustadz Elgi Zulfakar Diniy, S. Pd.

Literasi Populer

Komentar

  • Saya akan kembali, menjadi rakyat biasa 22 Aug 2025 09:37

    di sana bergembira gaji 3 juta sehari, di sini 3 bulan belum tentu 3 juta

    Balas

Tinggalkan Komentar