Ngaji di Mata Media: Semua Dianggap Transaksi, Termasuk Hormat Santri ke Kyai

Ada kalanya kritik bukan lagi sebuah kritik. Ia berubah wujud jadi peluru yang diarahkan tepat ke dada dan nurani. Demikian itulah yang terasa dari tayangan salah satu program stasiun televisi tempo hari. Ini bukan edukasi, bukan pula satire yang elegan. Ini sudah masuk wilayah provokasi, bahkan beraroma ujaran kebencian sistematis terhadap pesantren—tempat saya menimba ilmu dan belajar hidup.

Bayangkan, hubungan sakral antara Kyai dan santri—yang selama ratusan tahun jadi pondasi moral bangsa—diseret ke kubangan sinis: amplop, mobil, pakaian, bahkan keluarga Kyai pun ikut diobok-obok. Semua dihitung dengan kalkulator duniawi, seolah hubungan manusia hanya bisa dimaknai dengan rumus untung-rugi.

Padahal, siapa pun yang mau sedikit saja membuka mata—akan tahu bahwa Kyai bukan atasan yang tinggal duduk dan terima hasil. Mereka juga bukan influencer yang dihitung dari tarif endorsement per menit. Kyai adalah guru, pembimbing, penjaga bara ilmu agar tidak padam di tengah zaman yang semakin gaduh oleh ambisi dan materi.

Coba tengok KH. Anwar Mashur. Di usia 87 tahun, beliau masih setia duduk berjam-jam, membaca kitab setebal 400 halaman sejak pagi Ramadhan hingga adzan Dzuhur berkumandang. Ini bukan tontonan sinetron religi, ini kenyataan. Tapi sosok sepuh seperti beliau malah dijadikan bahan framing yang keji, seolah ketulusan bisa dipotong jadi potongan narasi berita yang dijadikan bahan clckbait.

Yang bikin ironis, mereka yang berani menghina para Kyai itu sebenarnya paham betul siapa yang sedang mereka lecehkan. Mereka tahu Kyai itu berhati lembut, mudah tersentuh, sabar, dan lapang dada. Mereka tahu pula, kalau nanti datang bersimpuh, bersalaman, dan meminta maaf, para Kyai akan memaafkan dengan tulus. Dan mungkin karena tahu itulah, keberanian mereka jadi kebablasan. Sebab memanfaatkan kebaikan orang lain untuk berbuat buruk, sungguh keterlaluan.

Kyai dan santri itu bukan dua pihak yang terikat kontrak bisnis. Ini soal batin, soal spiritualitas, soal rasa hormat dan cinta. Santri mencium tangan Kyai bukan karena gaji, tapi karena adab. Amplop yang diserahkan bukan sebagai alat tukar transaksional, tapi sebagai simbol kasih—sekeping tanda syukur dari murid pada guru. Nilainya tak pernah sebanding dengan ilmu yang didapatkan serta akhlak yang dipertontonkan. Karena semua itu tak sebanding dengan harga berapapun yang diberikan dan keikhlasan tak pernah bisa ditakar dengan sebuah nominal.

Tapi ya, selalu saja ada yang nyinyir, dan yaang nggak suka bakal bilang, “Ih, itu mah pengkultusan Kyai”. Sebenarnya, merkalah yang perlu dikasihani, mungkin mereka nggak pernah tahu rasanya dicintai bukan karena rupa, harta, bahkan asmara, tapi karena ketulusan doa. Mereka nggak pernah tahu rasanya hormat dengan seseorang bukan karena takut, terancam, atau bahkan terintimidasi tapi karena cinta dan rasa bangga. Para santri, punya ikatan bathin spiritual dengan guru-guru mereka yang susah dijelaskan dengan logika materialistis.

Ketika hubungan manusia direduksi jadi urusan untung-rugi, maka yang hilang bukan cuma rasa, tapi juga makna. Media seharusnya jadi ruang belajar bersama—tempat masyarakat menumbuhkan empati dan nalar. Tapi kalau tidak sanggup jadi madrasah yang mencerdaskan, maka setidaknya jangan menjadi jadi etalase opini yang menyesatkan.

Sebab di dunia yang makin gaduh ini, justru pesantren lah yang masih menyala sebagai lentera kecil—menjaga cahaya adab dan khazanah ilmu di tengah gelapnya empati dan nalar yang saat ini berbalut pada kebebasan bernarasi dan beropini.

Literasi Populer

Komentar

  • Lebah ganteng 27 Oct 2025 07:06

    Waduh, jangan sampai ngaji pun dikira langganan premium ya ...

    Balas

Tinggalkan Komentar