MANUAL BOOK MENJADI MANUSIA: BASYAR, INS, INSAN, DAN NAS

Pernah nggak sih kepikiran, kenapa kita tiba-tiba lahir di dunia? Padahal nggak ada yang pernah kasih kita pilihan: “Mau lahir atau enggak?” Tahu-tahu sudah ada di ruang bersalin, nangis-nangis, lalu tumbuh besar dengan segala macam urusan: cicilan, pajak, sampai jadi korban gaslighting bos di kantor. Ribet banget, kan?

Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia diciptakan dengan tugas mulia, yaitu menjadi khalifah di bumi. Kedengarannya keren, mirip jabatan strategis di BUMN. Tapi masalahnya, nggak ada training resmi. Satu-satunya “manual book” ya Al-Qur’an itu sendiri. Nah, dalam Al-Qur’an, manusia disebut dengan empat istilah: basyar, ins, insan, dan nas. Masing-masing punya peran khusus.

Mari kita bahas satu per satu:

1. Manusia Basyar – makhluk biologis

Sebagai basyar, manusia punya kebutuhan dasar: makan, minum, menikah. Bahkan Nabi Muhammad menegaskan bahwa beliau pun hanya seorang basyar seperti kita (QS. Al-Kahfi: 110). Bedanya, beliau menerima wahyu, sementara kita menerima notifikasi Shopee.

Maslow bilang, kebutuhan dasar manusia memang soal makan, minum, tidur. Kalau ini nggak terpenuhi, jangan harap orang bisa mikir soal “visi Indonesia emas 2045.” Wajar kalau rakyat lebih heboh dengan harga beras naik seribu perak daripada janji kampanye setebal tiga bab.

Tapi, kalau hidup berhenti di level basyar, manusia jadi mirip hewan ternak: hidup untuk makan, bukan makan untuk hidup. Bedanya, sapi cuma bisa mengeluh “mooo,” sementara manusia bisa curhat panjang di Twitter.

2. Manusia Ins – makhluk spiritual

Naik level, manusia disebut ins, yaitu makhluk yang diciptakan untuk beribadah. Allah jelas berfirman: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Jadi kalau ada yang hidupnya cuma buat flexing harta di Instagram, ya jelas salah arah.

Ibadah bukan sekadar tiket masuk surga, tapi juga sumber ketenangan. Hidup jadi kayak naik kereta: duduk tenang, percaya sama masinis. Padahal kita bahkan nggak kenal siapa masinisnya. Masa sama Allah yang mengatur hidup malah nggak percaya?

Menurut Maslow, kebutuhan berikutnya adalah rasa aman. Dan orang beriman biasanya punya rasa aman itu. Gaji telat seminggu? Dia tetap santai, “Allah Maha Kaya.” Bandingkan dengan kita yang saldo tinggal Rp17 ribu tapi masih maksa checkout keranjang oranye.

3. Manusia Insan – makhluk rasional

Sebagai insan, manusia dibekali akal. Allah menegaskan: “Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. Al-‘Alaq: 5).

Dengan akal, manusia bisa menciptakan teknologi: dari pesawat, AI, sampai konten YouTube berisi mukbang yang ditonton jutaan orang. Semua itu bukti kreativitas akal manusia.

Zuckerberg pun mengakui bahwa algoritma Facebook berawal dari kontribusi ilmuwan Muslim, Al-Khawarizmi. Jadi, kalau sekarang kamu bisa scrolling TikTok sampai subuh, ingatlah: itu semua dimungkinkan oleh ulama abad ke-9. Ironisnya, kalau ulama dulu bikin algoritma untuk ilmu, anak muda sekarang memakainya untuk nyari gebetan baru.

Maslow menyebut kebutuhan selanjutnya adalah penghargaan. Dan penghargaan paling tinggi datang dari ilmu. Orang kaya tapi bodoh sering jadi bahan olok-olok. Tapi orang pintar, meski dompet tipis, tetap dihormati. Minimal bisa diminta tolong bantuin temen ngerjain skripsi.

4. Manusia Nas – makhluk sosial

Terakhir, manusia disebut nas, makhluk sosial. Allah berfirman bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal (QS. Al-Hujurat: 13). Sayangnya, di Indonesia praktiknya sering jadi: “saling kenal pas kampanye, saling lupa pas duduk di kursi DPR.”

Manusia jelas butuh orang lain. Negara pun begitu. Contohnya, saat Indonesia berhenti ekspor nikel mentah, negara-negara Eropa langsung kelabakan. Jadi kalau ada orang bilang bisa hidup sendiri, coba tanyakan: “Nanam beras sendiri nggak? Bikin listrik sendiri nggak?” Kalau jawabannya enggak, berarti cuma omong kosong.

Maslow bilang kebutuhan manusia juga meliputi kebutuhan sosial dan aktualisasi diri. Kalau ini berjalan, masyarakat jadi saling melengkapi: orang kaya membantu yang miskin, yang miskin mendoakan yang kaya. Orang pintar mengajar yang kurang pintar, sementara yang kurang pintar mendoakan agar si pintar tetap rendah hati.

Habib Ali al-Jufri bahkan menulis buku berjudul Al-Insaniyah qobla at-tadayyun—“kemanusiaan sebelum agama.” Karena kalau rasa kemanusiaan hilang, meskipun rajin ibadah, hasilnya bisa jadi cuma: “rajin ibadah tapi hobi nyinyir.”

Manusia itu paket komplit: basyar, ins, insan, dan nas. Kalau cuma salah satu yang dijalani, jadinya timpang. Ibarat paket data unlimited tapi FUP-nya cuma 500 MB, nggak ada gunanya. Kita butuh makan, ibadah, berpikir, dan bersosialisasi. Semua harus seimbang. Kalau semua berjalan proporsional, insyaAllah kita bisa menutup hidup dengan husnul khotimah—akhir manis yang diidamkan semua orang. Dan kalaupun nggak sempat jadi orang besar, setidaknya kita tidak menghabiskan hidup hanya untuk bikin thread drama di Twitter.


Penulis: Ilman Mahbubillah, S.Pd.

Literasi Populer

Komentar

  • Orang baik 25 Aug 2025 06:03

    kereeeennnn

    Balas

Tinggalkan Komentar